KAFKA ON THE SHORE, SEKS, LALU APA?

Hari ini pekerjaan membuatku bertemu fakta kalau sebuah boy group korea yang sedang tenar-tenarnya, ternyata menjadikan beberapa literatur sebagai referensi lirik lagu mereka. Termasuk di antaranya, Kafka On The Shore.

Karya Murakami ini selintas membawa ingatanku ke masa lalu. Dulu sekali aku sudah membaca habis buku ini di internet. Topiknya menarik, seorang anak lima belas tahun yang keluar dari rumah dan berpetualang sendiri. Persis dengan keinginanku sendiri, keluar dari rumah apapun caranya. 

Buku ini kubaca habis namun tidak begitu bermakna. Rasa kagumku pada keberanian Kafka hilang ketika paragraf polosnya diselipi adegan seks antara dia dan tokoh lain. 

Seks, seks, seks. Muak aku. 

Teringat pula aku dengan novel Cantik Itu Luka karya Eka Kurniawan yang dipuja di internet dan impulsif kubeli print outnya tanpa ekspektasi apa-apa. Oke, mungkin aku ingin tahu bagaimana cara coping life seorang perempuan buruk rupa yang diberi nama cantik itu, ya hanya itu. Dan ternyata isi dari puja puji tadi ternyata adalah petualangan stensil seorang perempuan dalam hidupnya. Kubaca sampai habis dan kutertawakan diri sendiri yang mau-maunya menghabiskan uang tabungannya untuk kumpulan cerita petualangan ranjang membara. 

Tanpa mengurangi rasa hormat pada orang-orang yang menemukan apa yang mereka cari dari dua literatur ini, aku cuma ingin menyampaikan rasa kesalku pada laku pemujaan seks yang berlebihan. Tidak cukupkah industri musik pop pengejar setoran selalu berputar dalam topik ini? Iya, semua orang sudah dan akan melakukan seks, lalu apa?

Seks itu menyenangkan, oke. Seks itu menyakitkan, ya sudah. Seks ini begini begitu, ya cukup, bisa kita akhiri?

Mengutip lirik Toro Y Moi dari lagu terbarunya, Ordinary Pleasure, beliau bilang, "Does sex even sells anymore? I think I have seen it all, or maybe i'm just old, or maybe i'm just bored."

Comments